The Lord of the Rings the Fellowship of the Ring Review
THE LORD OF THE RINGS TRILOGY
Kali ini saya kembali akan menulis review lebih dari satu moving-picture show dalam sekalin posting. Saya akan menulis tentang sebuah trilogi yang tentunya sudah diketahui oleh semua orang baik yang memang pecinta film atau bukan. Yak, trilogi The Lord of the Rings yang disutradarai Peter Jackson ini memang fenomenal. Trilogi ini sukses baik secara finansial maupun dari segi kualitas. Total ketiga filmnya berhasil meraup pendapatan hampir $3 Miliar untuk peredarannya di seluruh dunia. Di ajang Oscar juga ketiga film ini sangat berhasil dimana dari full 30 nominasi yang didapat 17 piala berhasil dibawa pulang dimana 11 diantaranya didapatkan oleh motion-picture show ketiganya, The Return of the Male monarch yang berhasil melakukan sapu bersih. Menjelang perilisan The Hobbit: An Unexpected Journey akhir tahun nanti saya kembali menonton trilogi luar biasa ini. Bedanya, jika sebelumnya saya menonton versi biasa, kali ini saya menonton versi extended-nya yang masing-masing filmnya berdurasi 200-an menit. Bahkan moving-picture show ketiganya menyentuh durasi 240 menit allonym 4 jam!
THE FELLOWSHIP OF THE RING (2001)
Saya tidak akan terlalu panjang menceritakan sinopsisnya karena saya rasa hampir semua orang sudah tahu apa yang diceritakan oleh ketiga film ini. Di bagian pertamanya kita akan mulai diajak berkenalan dengan para Hobbit termasuk Froddo Baggins (Elijah Forest) yang tinggal bersama pamannya, Bilbo Baggins (Ian Holm). Froddo kemudian mendapatkan sebuah tugas yang berat sekaligus penting untuk membawa sebuah cincin yang diwariskan oleh sang paman. Cincin itu sendiri dahulu dibuat dan dimiliki oleh Sauron sang penguasa kegelapan. Meski raganya telah mati, jiwa Sauron masih berusaha untuk kembali bersatu dengan cincinnya. Untuk itulah Froddo dibantu para "Fellowship of the Rings" yang terdiri dari three hobbit lain yaitu Sam (Sean Astin), Merry (Dominic Monaghan) dan Pippin (Billy Boyd), sang penyihir Gandalf the Grey (Ian McKellen), Legolas (Orlando Bloom) yang berasal dari ras peri, Gimli (John-Rhys Davies) dari ras kurcaci, dan dua orang ras manusia, Aragorn (Viggo Mortensen) dan Boromir (Sean Edible bean). Kesembilan fellowship ini harus membawa cincin tersebut untuk kemudian dimunashkan di kawah Mordor.
Seri pertama ini sudah menyuguhkan kepada kita adegan-adegan pertempuran yang cukup ballsy. Meski skala peperangannya masih lebih kecil jika dibandingkan dengan kedua film berikutnya, tapi Fellowship of the Ring sudah mampu memperlihatkan peperangan yang megah seperti peperangan melawan Sauron di bagian awal, lalu kemunculan Orc dan Troll, munculnya Balrog si setan api, dan tentunya pertempuran melawan pasukan Uruk-Hai di akhir film. Balutan CGI yang canggih dan scoring megah yang menambah kesan epic. Beginilah seharusnya musik menggelegar yang meninggalkan kesan epic itu dibuat dan bukan seperti musik yang dipakaidi flick-film Spielberg yang walaupun megah tapi terasa sudah basi dan sering overdramatic. Efek CGI yang dipakai jelas jawara. Dari yang megah seperti saat peperangan, yang membangun dunia Middle Globe, sampai yang sederhana seperti yang dipakai untuk membuat ukuran para Hobbit. Secara keseluruhan Fellowship of the Rings adalah pembuka yang bagus dan tensinya tidaklah tanggung meski yang disoroti barulah awal petualangan. Versi extendend ini memiliki tambahan durasi sekitar xxx menit dengan beberapa tambahan adegan seperti pemberian hadiah yang dilakukan oleh Galadriel. Versi theatrical-nya memang lebih padat, tapi jika ingin lebih banyak melihat eksplorasi dan pengembangan cerita sekaligus karakternya, versi yang lebih panjang ini patut dilihat.
THE TWO TOWERS (2002)
Melanjutkan akhir kisah film pertamanya, Froddo dan Sam kini mulai mencari jalan menuju Mordor. Ditengah perjalanan mereka diserang oleh Gollum/Smeagol (Andy Serkis) yang menginginkan cincin tersebut. Sedangkan dua hobbit lainnya, Merry dan Pippin yang ditangkap oleh Orcs dan Uruk-hai berhasil kabur dan bertemu dengan makhluk penjagahutan bernama Treebeard. Sedangkan Aragorn, Legolas dan Grimli yang berusaha mencari mereka berdua justru bertemu dengan Gandalf yang telah bangkit kembali dan menjadi Gandalf the White yang akhirnya bergabung kembali menuju Rohan. Peperangan besar melawan 10.000 pasukan Saruman yang terdiri dari Orcs dan Uruk-hai. Peperangan yang dikenal sebagai "Battle of Helm's Deep" yang di film kedua ini jadi sebuah sajian klimaks luar biasa. Peperangan yang amat seru dan epic dilengkapi dengan visual efek dan scoring megah membuat pertempuran ini tidak berlebihan jika mendapat gelar sebagai salah satu adegan perang terbaik dalam sejarah film.
Peperangan di Helm's Deep jelas menambah daya tarik The Ii Towers, karena bagi saya dibanding picture show pertamanya, film keduanya ini justru berjalan dengan tempo yang sedikit lebih lambat di tengah padahal durasinya lebih panjang. Tapi kehebatan Peter Jackson dalam meramu flick ini kembali terbukti. The Lord of the Rings memang punya naskah yang kuat dan berbobot, tapi Peter Jackson mampu membuatnya sangat mudah diikuti meskipun banyak intrik didalamnya. Hebatnya, dia bisa membuat penontonnya tidak bosan dengan durasi film yang nyaris 3 jam. Dan saya sendiri kali ini menonton versi extended yang berdurasi hampir tiga setengah jam dan bisa terpuaskan meski di tengah saya agak merasa sedikit bosan. Tapi siapa yang tidak terpana melihat peperangan di akhir movie? The Two Towers juga menandai kemunculan Gollum yang memang sangat luar biasa baik dari CGI maupun performa seorang Andy Serkis. Salah satu karakter CGI paling ikonik sepanjang sejarah lahir di moving-picture show ini. Tokoh-tokoh lainnya juga masih mendapat porsi yang berimbang dimana di versi extended ini cukup banyak sense of humor-humor lucu yang diselipkan dimana mayoritas melibatkan Gimli ataupu Eowyn. Yang masih mengecewakan adalah Froddo tentunya. Sebagai karakter utama, dia sama sekali tidak menarik perhatian saya. Secara keseluruhan moving picture keduanya ini juga bagus, tapi saya sedikit lebih suka film pertamanya.
THE Render OF THE Rex (2003)
4 Jam terakhir (200 menit untuk versi bioskop) dari trilogi TLOTR adalah sebuah sajian epic dengan klimaks dan penyelesaian yang sangat baik dan sangat memuaskan. Saya tidak bilang film ini sempurna, tapi untuk dikatakan nyaris sempurna motion picture ini sudah sangat pantas. Melanjutkan kisah di film keduanya, kali ini peperangan terjadi di Minas Tirith yang berada di Gondor. Jika motion-picture show keduanya punya peperangan di Helm'south Deep dan penyerbuan para ent di Isengard, maka The Return of the King punya perang epic mempertahankan Minas Tirith. Sudah jadi ciri khas trilogi ini untuk menyajikan perang seru dengan skala besar, jumlah prajurit mencapai puluhan ribu, dan tentu saja tetap dibalut dengan spesial efek dan scoring musik yang megah. Salah satu favorit saya tentunya saat "Army of the Dead" terjun ke pertempuran. Apalagi yang bisa saya katakan untuk film ini selain epic? Tapi motion-picture show ini juga punya kedalaman cerita dan tidak hanya mengandalkan peperangan. Kisah-kisah dan perjuangan didalamnya cukup menyentuh.
Mungkin kekecewaan hanya datang dari sosok Frodo Baggins yang tetap tidak bisa memikat saya sebagai sosok pahlawan. Hobbit-hobbit lain macam Sam dan Pippin masih lebih heroik daripada Frodo. Bahkan saya jauh lebih menyukai Gollum daripada Frodo. 240 menit atau four jam adalah durasi terlama saya menontonfilm dan saya tidak sedikitpun merasa bosan yang berarti moving-picture show itu istimewa. Untuk versi extended film ketiga ini lebih banyak adegan menarik daripada dua film sebelumnya seperti kematian Saruman, lomba minum yang cukup lucu antara Legolas dan Gimli, porsi Gollum yang ditambah dan masih banyak lagi. Film ketiga ini akhirnya menutup saga TLOTR dengan sangat baik dan menjadikannya sebagai salah satu trilogi terbaik yang pernah ada.
Source: http://movfreak.blogspot.com/2012/01/lord-of-rings-trilogy.html
Post a Comment for "The Lord of the Rings the Fellowship of the Ring Review"